PERTANIAN - Indonesia sering disebut sebagai negara agraris, dengan bentangan sawah yang luas, tanah yang subur, dan iklim tropis yang mendukung pertumbuhan tanaman sepanjang tahun. Namun, di balik potensi yang besar ini, sektor pertanian Indonesia menghadapi sejumlah paradoks yang membuat negeri ini terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada impor pangan dan kurangnya kesejahteraan petani. Masalah ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa yang salah dengan tata kelola dan kebijakan agraria Indonesia?
Sawah yang Luas, Produksi yang Rendah
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jutaan hektare lahan sawah. Namun, produktivitas padi per hektar di Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara seperti Vietnam atau Thailand. Faktor-faktor seperti penggunaan teknologi pertanian yang minim, praktik pertanian tradisional, dan kurangnya pelatihan bagi petani menjadi penyebab utama. Selain itu, masalah fragmentasi lahan — di mana kepemilikan sawah tersebar dalam luasan kecil — menyulitkan penerapan metode pertanian modern yang lebih efisien.
Tanah yang Subur, Petani yang Tak Makmur
Indonesia memiliki tanah yang dikenal subur berkat aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi. Ironisnya, petani Indonesia sering kali hidup di bawah garis kemiskinan. Harga hasil pertanian yang rendah, sistem distribusi yang tidak efisien, serta ketergantungan pada tengkulak menjadi beban yang menghimpit petani. Lebih jauh lagi, sistem kebijakan agraria yang tidak berpihak kepada petani kecil dan penguasaan lahan oleh segelintir pihak semakin memperparah ketimpangan ini.
Air Melimpah, Irigasi Tidak Memadai
Sebagai negara dengan sumber daya air yang melimpah, Indonesia justru sering mengalami krisis air irigasi. Sistem pengairan yang buruk, terutama di daerah-daerah terpencil, membuat sawah tidak mendapatkan suplai air yang cukup pada musim kemarau. Padahal, pembangunan infrastruktur irigasi merupakan salah satu kunci keberhasilan revolusi hijau di negara-negara lain. Tanpa irigasi yang memadai, produktivitas pertanian tidak akan bisa ditingkatkan secara signifikan.
Industri Pupuk, Tapi Kerap Langka
Indonesia memiliki industri pupuk yang besar, seperti Pupuk Indonesia, yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan domestik. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pupuk sering kali langka, terutama saat musim tanam. Distribusi yang tidak merata, penimbunan oleh oknum, dan kebijakan subsidi yang tidak efektif menjadi penyebab utamanya. Akibatnya, petani harus membeli pupuk dengan harga tinggi atau bahkan tidak bisa memupuk lahan mereka secara optimal.
Impor Pangan di Tengah Ketidakmandirian
Indonesia adalah salah satu importir pangan terbesar, termasuk beras, gula, kedelai, dan bawang putih. Ketergantungan ini menunjukkan bahwa swasembada pangan, meskipun menjadi slogan populer, masih jauh dari kenyataan. Impor pangan tidak hanya merugikan petani lokal, tetapi juga membuka kerentanan terhadap fluktuasi harga internasional dan ketidakpastian pasokan.
Baca juga:
Kentang Gaduik primadona sumber cuan
|
Mengapa Ini Terjadi?
Permasalahan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari kombinasi kebijakan yang tidak terintegrasi, korupsi, dan kurangnya fokus pada keberlanjutan sektor agraris. Beberapa poin kunci yang perlu diperhatikan meliputi:
1. Kebijakan yang Tidak Konsisten: Perubahan arah kebijakan setiap pergantian pemerintahan menghambat upaya jangka panjang untuk memperbaiki sektor pertanian.
2. Korupsi dan Inefisiensi: Praktik korupsi dalam pengadaan pupuk, irigasi, dan program bantuan sering kali mengurangi dampak positif dari kebijakan pemerintah.
3. Minimnya Investasi Teknologi: Banyak petani yang belum mendapat akses ke teknologi modern dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas.
4. Urbanisasi dan Alih Fungsi Lahan: Pertumbuhan kota yang pesat menyebabkan banyak lahan subur berubah menjadi kawasan perumahan dan industri.
Solusi dan Harapan
Untuk mengatasi paradoks ini, Indonesia membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Peningkatan Infrastruktur Irigasi: Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan dan perbaikan sistem irigasi di daerah-daerah sentra pertanian.
2. Reformasi Kebijakan Agraria: Redistribusi lahan yang adil dan dukungan kepada petani kecil harus menjadi fokus utama.
3. Penguatan Rantai Distribusi: Membuat sistem distribusi yang efisien agar petani dapat menjual hasil panennya tanpa ketergantungan pada tengkulak.
4. Inovasi Teknologi: Memberikan akses teknologi pertanian modern kepada petani untuk meningkatkan hasil panen.
5. Pengelolaan Pupuk yang Efektif: Meningkatkan transparansi dan pengawasan distribusi pupuk subsidi agar tepat sasaran.
Indonesia memiliki potensi agraris yang luar biasa, tetapi berbagai tantangan struktural dan kebijakan telah membuat sektor ini jauh dari kata ideal. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia sebenarnya mampu keluar dari paradoks ini dan menjadi negara yang benar-benar mandiri pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Jakarta, 23 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademis